Jumat, 29 Januari 2010

Air Mata Mala

Jumat, 29 Januari 2010





Air Mata Mala

Oleh : Angri.

Mala kini tidak sama seperti dulu, ia berubah. Tidak ada lagi keceriaan, dan senyum yang terpancar begitu indah dari wajahnya. Kini yang ada hanya wajah penuh duka, dan tawa yang menyeramkan. Ya, Mala telah berubah menjadi gila. Seluruh penduduk kampung tidak akan pernah menyangka perubahan Mala. Gadis yang dikenal dengan kelembutan, keramahannya ini, berubah menjadi monster ganas. Ia bisa dengan mudah menggigit, menjambak, memukul siapa saja yang bisa ditemuinya. Karena alasan itu, sebuah kandang di belakang rumahnya menjadi tempat tinggal bagi Mala. Makan, dan buang air dilakukannya di kandang tersebut. Kakinya terbelenggu, dan tangannya diikat oleh kain yang ujungnya membelit kencang di sudut kandang. Semua ini dilakukan untuk mencegah Mala menyakiti orang lain, atau dirinya sendiri.

Malam menjadi cerita yang mencekam bagi penduduk kampungku. Teriakan Mala yang meminta mati membuat telinga penduduk kampung terusik. Apalagi terkadang diikuti oleh pekik suara burung hantu. Udara malam yang dingin membuat urat setiap penduduk menegang, menunggu sebuah kabar yang teramat buruk yang mungkin saja akan hadir di pagi hari nanti. Kabar tentang kematian Mala.

Berita itu aku terima sesaat aku menapakkan kaki di batas gapura menuju kampungku. Tidak ada tukang ojek yang dapat membawaku pulang ke rumah dengan cepat. Padahal rumahku lumayan jauh dari sini, sekitar satu kilometer lagi. Panasnya matahari membuatku enggan berjalan kaki. Apalagi jalan di kampungku bukanlah jalan aspal seperti di kota-kota besar. Ya, kampungku termasuk salah satu kampung yang belum mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah daerah.

Aku sedang berteduh di pangkalan ojek yang ada di sekitar gapura kampung. Bagaikan sebuah patung aku terduduk diam, tiada yang dapat aku ajak bicara. Sekitar sepuluh menit, aku terdiam hingga telingaku mendengar deru laju suara mesin motor. Mudah-mudahan itu tukang ojek yang aku tunggu. Tapi setelah suara motor itu mendekat, seraut wajah yang begitu kukenal memenuhi ruang mataku. Bayu, ia bukan tukang ojek, tapi ia seorang pemuda di kampung yang mencintaiku. Oh, tidak. Pastinya ia akan menawariku ikut dengannya.

Bayu menghentikan motornya tepat di depanku. Ia begitu senang saat melihatku kembali lagi. Ya, selain aku kuliah ke Jakarta, alasanku yang lain adalah meninggalkan Bayu dengan cintanya.

“Raras. Kamu Raraskan. Apa kabar cantik?”

Bayu selalu memanggilku cantik, padahal jika dibandingkan dengan gadis lain aku tidak secantik itu. apalagi jika aku bersanding dengan Mala, wah bagaikan langit, dan bumi. Aku pendek, dan Mala tinggi semampai. Aku tersenyum mendengar ucapan Bayu.

“Hai Bayu. Apa kabar?”

“Bertambah semangat dong Ras.”

Bayu turun dari motornya, dan berjalan mendekat. Hatiku berdegup kencang. Bayu sudah berubah. Dulu ia tidak setampan, dan segagah ini. Ia bertubuh kering kerontang, berjerawat, dan juga berambut gondrong tidak terurus. Tapi sekarang, badannya penuh isi, urat tangannya menandakan ia bekerja keras untuk hidupnya. Rambut gondrongnya kini dipotong habis, dan wajahnya kini bersih dari jerawat.

“Bayu, kamu sudah berubah ya?”

“Tentu dong Ras. Semua orang akan berubah suatu saat nanti. Betul kan?”


“Betul banget.”

“Oya, kamu sudah lama di sini Ras?”

“Sekitar sepuluh menit nih.”

“Apa kamu mau aku antarkan pulang? Tenang saja tidak perlu bayar.”

“Bener nih Bay. Aku tidak perlu bayar?”

“Iya dong. Kamu kan masih yang tercantik di mataku.”

“Gombal ya.”

“Mau sekarang apa nanti nih? Kalo sekarang ayo kita berangkat, tapi kalo nanti…”

Bayu menghentikan ucapanya. Ia sepertinya sengaja membuatku bertanya padanya.

“Kalo nanti, kenapa Bay?”

“Aku mau bercerita, dan bertanya padamu?”

“Kalo gitu nanti aja deh.”

“Baiklah.”

Bayu mengeser duduknya dekat padaku. Hatiku yang berdegup kencang tadi, kini bagaikan mesin yang tidak dapat berhenti. Wangi tubuh Bayu yang dulu kecut kini berganti aroma parfum yang bisa dibilang tidak murahan.

“Ini semua tentang Mala. Sebelumnya aku mau tanya, cantik kenalkan dengan Indra?”

“Kenal. Indra bukannya pacar Mala tuh?”

“Tepat sekali. Tapi sekarang tidak lagi.”

“Kenapa?”

“Kini Mala sendiri Ras. Oya, kamu pernah melihat Indra di Jakarta?”

“Tidak.”

“Ya, sudahlah. Lagipula Indra bukan lelaki yang baik.”

“Ada apa sebenarnya antara Mala, dan Indra, Bay?”

“Dosa Ras, Dosa.”

Indra, aku kenal nama ini. Lelaki yang kukenalkan pada Mala dengan maksud agar mereka dapat menjadi sepasang kekasih. Kini aku mendengar kata dosa dari mulut Bayu. Apa yang telah mereka lakukan.

“Mala kini terpasung Ras. Setahuku ia dipasung karena kedua orang tuanya tidak mau Mala meyakiti orang lain. Tapi menurut kabar berita yang kudengar, itu semua karena Mala menggugurkan kandungannya.”

Aku terkejut, rasanya gelegar petir tidak akan dapat membuatku terkejut seperti ini. Benarkah Mala menggugurkan kandungannya. Bukankah Mala waktu aku tinggalkan dulu belum menikah.

“Apa Mala sudah menikah Bay?”

“Itu dia masalahnya Ras. Mala belum menikah.”

“Kalo belum menikah, kenapa Mala bisa hamil?”

“Ras, gimana sih. Kamu bukan anak kecil lagi kan. Pastinya sama Indra lah. Buktinya Indra menghilang, dan Mala dipasung.”

Kembali rasa terkejutku datang. Mala, kenapa kamu berbuat sejauh ini.
“Gimana Ras. Kamu mau aku antarkan pulangkan?”

“Baiklah Bay.”

Akhirnya aku pulang diantarkan Bayu. Sepanjang perjalanan pikiran, dan rasa bersalahku muncul. Ya, aku mengenalkan Mala dengan Indra. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku mempertemukan mereka berdua. Motor Bayu berjalan menembus jalan, dan menciptakan debu berterbangan di sekitar wajahku. Tidak berapa lama aku sampai di rumah.

“Mampir dulu Bay!”

“Tidak usah deh Ras. Aku ada kerjaan nih. Sampai ketemu nanti ya.”

“Ya sudah. Terima kasih ya Bay.”

Bayu meninggalkan aku di depan pagar rumahku. Dengan tas di punggung aku melangkah masuk. Hanya ada Bapak yang sedang duduk di teras rumah. Wajah Bapak gembira melihatku. Tapi aku tidak melihat Ibu. Setelah mencium tangannya, aku bertanya pada Bapak.

“Ibu mana Pak?”

“Oh, Ibumu sedang ke pasar. Masuk dulu sana, taruh tasmu ke dalam. Sebentar lagi Ibumu pulang.”

Aku masuk ke dalam kamarku. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti enam bulan yang lalu. Di kamar ini pernah menjadi saksi bisu atas rencanaku mempertemukan Mala, dan Indra. Air mataku meluruh jatuh membasahi kedua pipiku. Cepat aku menyekanya, aku tidak mau saat Bapak, atau Ibu tiba-tiba masuk kamar melihatku menangis. Mereka nanti akan ikut bersedih.

Setelah merapikan barang bawaanku. Aku keluar kamar, dan menemui Bapak di teras rumah. Kami bercerita banyak hal, tentang kerinduan, dan kemajuanku dalam belajar. Topik pembicaraan kami berdua mengarah pada peristiwa Mala. Bapak banyak bercerita padaku, dan tiba-tiba ia memintaku untuk mengunjungi Mala.

“Ras. Kamu pergi sana bertemu Mala. Semoga kedatanganmu bisa memecahkan misteri Mala. Kamu kan teman baiknya, tidak usah menunggu Ibumu pulang.”

“Tapi Pak…”

“Sudah pergi saja Ras. Bapak akan marah kalo kamu masih di sini. Siapa tahu waktu Mala melihatmu, ia akan gembira.”

Sebenarnya aku masih belum sanggup bertemu dengan Mala, tapi Bapak memintaku pergi. Berat rasanya langkah kakiku untuk berjalan menuju rumah Mala. Setengah terpaksa aku berjalan, bukan maksudku untuk menghindari Mala. Aku pasti akan bertemu dengannya, tapi bukan saat ini. Aku masih butuh istirahat, perjalananku pulang cukup melelahkan ditambah dengan kabar berita ini. Sekitar lima menit berjalan, aku sampai ke rumah Mala. Di depan rumahnya tidak ada siapa-siapa, tapi hatiku berbicara untuk berjalan ke belakang rumah Mala. Ternyata benar, di sana ada Ibunya Mala yang baru saja keluar dari dalam tempat di mana Mala terpasung. Di tangan wanita yang menampakkan wajah kesedihan itu, tergenggam sebuah piring kosong.

“Ibu…”

“Raras. Kapan kamu sampai nak? Oh, Mala akan senang sekali jika melihat kamu.”

Wajah tua Ibunya Mala mencoba tersenyum, sebuah harapan muncul dari senyum itu.

“Baru saja Bu. Mala ke mana Bu? Raras ingin sekali bertemu dia.”

“Mala…, kamu sudah mendapatkan kabar itu kan Ras?”

Aku mengangguk pelan, tidak enak rasanya harus berbohong pada orang tua yang berdiri di depanku ini.

“Kamu mau masuk Ras? Mala akan senang sekali jika bertemu denganmu.”

“Jika Ibu tidak keberatan.”

Wanita tua itu kembali ke depan pintu kandang di mana Mala dipasung. Kaki tuanya menapak anak tangga kayu yang akan membawanya ke depan pintu. Aku mengikuti dari belakang. Pintu itu terkunci, jelas sekali kedua orang tua Mala tidak mau terjadi apa-apa padanya.

“Masuklah Ras! Ibu tinggal kamu berdua ya.”

Aku menganggukan kepala lagi, kali ini dengan wajah yang gembira.

Mataku menatap nanar ruangan yang bekas kandang ini. Di tengah ruangan terlihat Mala yang sudah berubah, hampir-hampir aku tidak lagi mengenali wajah cantiknya. Kedua kaki Mala dipasung di tengah kayu yang berukuran besar. Kaki itu kini terlihat mulai mengecil, tidak ada lagi betis indahnya itu. kedua tangan Mala terangkat ke atas, dan terikat kain yang memisahkan tangan itu dari tubuhnya. Sepertinya berfungsi mencegah Mala melukai dirinya sendiri. Baju yang dipakainya lusuh, dan berbau pesing. Tampaknya kegiatan buang air dilakukan Mala di kandang ini. Tapi yang membuatku takut adalah tatapan mata Mala yang penuh kebencian, ditambah lagi rambutnya yang berantakan.

Mala berteriak saat melihatku. Ia sepertinya mengenalku, dan marah sekali padaku.

“Untuk apa kamu kemari? Pergi…!”

“Mala ini aku Raras.”

“Siapa?”

“Raras.”

“Ha…, Ha…, Ha…, kamu Raras. Bukan, Raras sudah mati bagiku.”

“Mala, benar ini aku Raras.”

“Hmm…”

Suasana berubah sunyi, dan tenang. Mata Mala masih menatapku tajam, sinarnya seakan-akan mencoba memasuki relung hatiku. Sinar mata itu begitu menakutkan, sepertinya diriku dikuliti oleh sinar mata Mala. Aku mencoba mendekat, dan berharap sentuhan tanganku akan memberikan ketenangan.

Mala menatap bimbang padaku. Ia sepertinya mengenalku. Tapi aku salah.

“Pergi…! Jangan kau mendekat padaku. Bukankah kau sudah mencampakanku. Pergi kau lelaki buaya, tidak bertanggung jawab. Aku benci kamu Dra. Aku benci…”

Mala berteriak gusar, suaranya melengking tinggi. Telingaku seperti ditusuk-tusuk jarum yang banyak sekali. Tapi aku coba bertahan, tetap aku dekati Mala. Kenapa aku harus takut, kedua tangan Mala terikat. Di tengah kegusaran Mala, dan wajah ketakutannya aku melangkah semakin dekat. Aku peluk Mala, dan tiba-tiba Mala menggigit tanganku. Sakit sekali rasanya, untungnya tidak ada darah yang keluar dari tanganku. Cepat aku tarik tangan itu.

“Mala ini aku Raras.”

“Raras.”

“Ya, Raras."

Mala terdiam, matanya lekat mengarah padaku. Ia mencoba mengingat bentuk wajahku, keningnya berkerut, dan tiba-tiba ia tersenyum.

“Kamu Raras.”

“Iya La. Kamu sudah ingat aku kan?”

“Sudah Ras. Oh, Ras.”

Mala menangis, air matanya turun dengan deras. Suara raungan Mala begitu memilukan, membuat hatiku tercekat. Tangisan itu masih belum ada tanda-tanda akan berhenti. Aku beranikan diriku untuk sekali lagi memeluk Mala. Kali ini berhasil, tidak ada perlawanan dengan gigitannya. Kami menangis berdua, dan suara Mala pelan berbisik padaku.

“Kenapa kamu baru datang Ras? Kenapa kau datang disaat aku seperti ini?”

“Maafkan aku La. Aku telah membuatmu seperti ini.”

“Kamu tidak salah Ras. Ini semua salahku, dan Indra.”

“Tapi aku yang mempertemukan kalian berdua kan La.”

Mala terdiam, ia tidak membalas ucapanku.

“La. Ceritakan padaku La, kenapa kamu seperti ini?”

Mala tetap terdiam, dan ia kembali menangis.

“Maafkan aku La. Jika kamu tidak mau bercerita, jangan kamu ceritakan padaku!”

“Tidak Ras. Tidak apa-apa. Kamu mau mendengarkan cerita itu Ras?”

Aku memberikan anggukan kepala padanya.

“Baiklah Ras.”

Mala mulai menceritakan masalahnya dengan Indra. Setelah pertemuan pertama dengan Indra, Mala begitu senang. Ia merasakan jatuh cinta pada Indra. Kebetulan Mala memang belum pernah berpacaran, jadi bisa dibilang Indra pacar pertama, dan terakhirnya. Mereka berdua memadu kasih sayang yang begitu indah, hingga saat aku pergi ke Jakarta. Kepergianku ke Jakarta membuat mereka mulai berani bertindak lebih jauh. Karena sebelum aku pergi, Mala selalu memintaku menemaninya saat bertemu Indra. Dan kejadian memalukan, sekaligus dosa besar itu terjadi. Pertama kali mereka melakukan perbuatan terkutuk itu, di rumah Mala yang sedang sepi. Setelah itu berlanjut di banyak tempat. Terkadang di rumah Indra, Maupun di kebun kosong. Sampai tiba waktunya Mala terlambat bulan, ia menyampaikan kabar ini pada Indra. Indra terkejut sekali, apalagi saat Mala memintanya bertanggung jawab. Indra menolak, dan merayu Mala untuk menggugurkan kandungan itu yang berumur kurang lebih dua bulan. Awalnya Mala menolak, tapi Indra tetap merayunya. Keteguhan hati Mala dikalahkan oleh bisikan kata halus Indra. Dukun urut kampung sebelah yang akhirnya menjadi juru selamat bagi perbuatan penuh dosa, dan terkutuk yang mereka lakukan. Tapi Mala menyesalinya, ia merasa berdosa sekali. Dosanya melakukan perbuatan yang belum saatnya itu belum lagi terbayarkan dengan tobatnya, sekarang ia harus membunuh bayinya sendiri. Sakit sekali proses menggugurkan kandungan Mala itu.

Setelah proses itu selesai, sehari kemudian Indra meninggalkan Mala tanpa jejak. Dengan mudahnya Indra melempar tanggung jawab, dan lari bagaikan pengecut. Mala bingung, dan penyesalannya bertambah. Dan dimulailah perubahan itu, Mala berubah menjadi gila. Ternyata kejadiannya belum terlalu lama, baru sekitar dua minggu sebelum kedatanganku.

“Ras. Kamu mau kan merahasiakan semua itu. Pesanku padamu Ras, jangan ikuti perbuatanku ini. Jika kamu mencintai seseorang jaga dirimu, jangan sampai rayuannya membuatmu menyesal. Jangan sampai karena kelakuan pengecut, dan liciknya membuatmu tersiksa Ras. Cukup aku saja yang menjadi korbannya. Jaga kehormatan dirimu Ras. Aku mohon Ras, jangan ikuti aku.”

Aku hanya bisa diam, dengan air mata yang mengalir turun dengan derasnya.

“Ras. Aku telah salah dalam melangkah, dan menilai. Bukan kamu yang bersalah, tapi aku Ras. Aku…”

Aku tidak dapat menjawab, hanya bisa menatap mata Mala.

“Ras. Sekali lagi dengarlah pesanku. Cintailah pria karena imannya, bukan karena ketampanannya saja. Pilihlah pria yang berlaku benar dengan ilmunya, bukan karena kebaikan mulutnya. Sayangilah pria yang bisa menjagamu dari perbuatan buruk walaupun kamu suka akan hal itu, bukan yang hanya memujimu saja. Ikatlah tali kasihmu pada pria yang mampu menjaga kehormatan dirimu, dan dirinya serta bisa membimbingmu, bukan hanya karena banyaknya harta, dan rayuan gombalnya saja.”

“Ya La. Terima kasih atas nasihatmu. Aku akan berusaha La.”

Mala terdiam, ia tidak menjawab. Aku mencoba mendekati tubuh Mala, tapi tidak ada nafas yang kudengar. Oh, tidak. Aku panik, dan berlari keluar sambil berteriak meminta pertolongan. Penduduk kampung berdatangan termasuk Bapak, dan Ibu yang baru kulihat. Mereka semua bertanya apa yang terjadi. Aku tidak mampu menjawab, hanya jari telunjukku saja yang memberikan keterangan untuk melihat ke dalam kandang. Ibu, dan Pamannya Mala cepat berlari masuk ke kandang yang menjadi tempat Mala dipasung, diikuti oleh penduduk yang lain. Teriakan penuh rasa kaget, dan haru silih berganti datang dari kandang itu. Mala sudah tiada, sudah tidak bernafas.

“Mala sahabatku, apa yang terjadi padamu sungguh tragis. Belum sempat kamu berkata tobat, memohon ampunan. Mala, apa yang telah kamu berikan tadi akan menjadi pesan yang akan selalu teringat di sanubariku. Aku akan memilih pria seperti apa yang kamu sarankan, bukan seperti Indra, atau pria jahat yang lain. Selamat jalan sahabatku, Mala. Semoga kamu diampuni, dan diterima dengan baik segala amalanmu selama ini,” ucapku dalam hati mengiringi keluarnya tubuh kurus Mala dari dalam ruang ia terpasung selama dua minggu ini.

0 komentar: