Minggu, 31 Januari 2010

Aku

Minggu, 31 Januari 2010





Aku.

Oleh: Angri

Aku bukan binatang yang bisa kau hela, dan usir sesukamu. Aku juga bukan sampah yang begitu mudah kau ludahi. Tidak aku bukan itu. Aku ini manusia, mahluk hidup sama sepertimu. Buka…, buka…, buka matamu. Jangan kau picingkan sebelah. Jangan kau berpaling. Lihat aku…, coba kau lihat aku. Aku berdiri dengan kedua kakiku. Tidak empat, apalagi merangkak. Kenapa…, kenapa kau masih sombong, dan tetap saja berpaling. Apakah karena kau merasa lebih tinggi dariku. Jawab…, ayo jawab.

Itulah yang aku rasakan saat ini, kecewa, sedih, dan juga marah. Dia, mereka tidak memandangku sebagai manusia seutuhnya. Padahal aku hidup, aku bernafas. Apa karena wajahku yang tidak rupawan menjadi penghalang, ataukah karena kebodohanku yang membuat mereka berpaling.

Aku tidak tahu harus marah pada siapa. Pada diriku sendiri…, itu tidak mungkin. Pada mereka…, aku tidak mau ada dosa dalam langkah hidupku. Pada Tuhan…, tidak aku tidak mau dikutuk.

Ya sudah, untuk apa aku harus memikirkan mereka. Hidupku masih teramat jauh untuk berhenti. Aku masih harus berjalan, dan berlari. Mengejar mimpi, harapanku. Mungkin sama dengan kalian semua. Tapi aku akan tetap berjuang, walau kalian tidak mengganggapku ada.

Sekali lagi aku bilang, aku bukan sampah. Jadi jangan kau ludahi aku. Jangan kau nilai aku dari apa yang ada di luarku. Lihatlah aku dari perbuatan yang aku lakukan. Bisakah kau melihatnya. Nenek tua itu menjadi saksi di mana aku membantunya menyeberang. Mungkin kau akan tertawa, karena itu bukanlah hal yang istimewa. Tapi bagaimana jika aku katakan aku menggendongnya. Ya aku menggendongnya. Menyeberangi jalan yang penuh sesak dengan mobil-mobil mewah berjalan hilir-mudik. Nenek itu aku gendong di atas punggungku. Tertawakah kau kini, atau kau akan bilang aku hebat.

Simpan pujianmu itu. Aku tidak butuh itu. Jangan kau samakan aku dengan mereka yang terlena, yang terbuai dengan segala pujian hingga kepala terdongak ke atas.

Apakah sudah cukup ceritaku ini untukmu, apakah kau mau yang lainnya. Cerita yang bisa membawaku bergabung dengan kalian. Katakan…, jawab…, kenapa kau diam.

Baiklah agar kau tidak bertanya lagi. Akan aku ceritakan semua itu. Satu persatu bagai rambut yang berguguran, atau bagai ombak yang menghantam pantai. Kau mau yang mana. Jawab…, ayo jangan hanya diam, lalu berpaling tertawa di belakangku.

Dulu…, dengarkan aku baru mulai. Jangan lari, diam di tempatmu. Duduklah, buka telingamu.

Dulu…, aku pernah menolong seseorang yang kelaparan, ya hal ini sudah biasa. Tapi bedanya…, dengar jangan kau tertawa terlebih dahulu. Bedanya aku memberikan uang yang seharusnya aku bayarakan untuk uang sekolahku yang sudah tiga bulan belum aku bayarkan. Aku berikan semuanya, ya semua uangku. Bisakah kau melakukan itu. Katakan…, bisakah kau.

Sekarang cerita yang lain. Sst…, diam dulu jangan berisik. Aku menolong satu keluarga yang tidak dapat makan pada hari itu. Sang Ibu berbohong dengan memasak bongkahan batu. Sang Ayah menipu dengan berkata ini adalah air susu, padahal itu air tajin. Mereka melakukan itu semua hanya ingin melihat senyum dari wajah anak mereka, dan tangis yang berhenti. Padahal di sekeliling mereka terdapat pagar-pagar yang tinggi. Di mana penghuninya mempunyai banyak emas, mobil, dan harta yang lain. Coba bayangkan. Kenapa harus aku yang tidak mempunyai apa-apa yang menolong. Aku berikan semua uang yang aku punya. Sedangkan uang itu untuk ongkosku bekerja. Hingga aku harus berjalan, dan menerima kenyataan terhentinya aku dari pekerjaanku. Tapi aku tidak peduli, untuk apa menyesal. Siapa yang gila…, aku atau mereka.

Menangislah…, ayo menangis. Sekarang apakah kalian masih tetap berpaling dariku. Tidak malukan kalian membiarkan aku sendiri. Ingat,dan catat aku ini orang yang baik. Mahluk yang tiada berpamrih dalam memberikan sesuatu. Menolong itu tugasku.

Apa…, kalian masih mau pergi. Kembali…, cepat kembali kataku. Aku masih akan bercerita untuk kalian. Dengar…, dengar…, dengar. Teriakku sudah berkali-kali, tapi kalian terus berjalan.

Hei..., kau kemarilah. Ya, kau. Duduk, dan dengarkan aku.

Tidak, kau menggeleng.

Kenapa, apakah aku terlalu kasar. Apakah aku tidak boleh memanggilmu kau. Bagaimana jika aku berkata sopan. Bagaimana jika aku memanggilmu Tuan.

Tuan…, kemarilah. Duduk bersamaku, aku punya sesuatu untuk diceritakan.

Tidak, sekali lagi kau bilang tidak. Padahal aku sudah berkata sopan, aku memanggilmu Tuan.

Sudah pergi sana, aku tidak butuh kau. Biarkan aku sendiri. Jangan kau ikat tubuhku ini, lepaskan…, lepaskan cepat. Aku larikan tubuh ini kembali. Ke dalam kamarku yang setia menemaniku. Di mana ada buku kecil sebagai teman yang mengerti aku. Bukan kau, atau mereka.

Oh…, bukuku. Aku kembali untuk menuliskan sesuatu. Apa…, sudah tidak ada lagi tempat untuk tulisanku yang baru.

Oh tidak…, jeritku sambil memegang keningku yang tiada panas. Mataku melotot melihat apakah ada sedikit saja ruang yang tersisa. Aku ingin berkeluh kesah, akan aku tuangkan semua rasaku. Ketemu…, aku menemukan ruang itu. Baiklah, bersiaplah. Akan aku cantumkan kau di dalamnya, sama seperti dulu. Akan aku caci maki kalian, karena menghiraukan aku. Tidak peduli padaku. Ha…, Ha…, Ha…, aku puas.

Tapi…, aku pukul-pukulkan penaku. Aku corat-coret kaca dengan penaku. Aku tiup penaku, dan semua usaha itu tiada berhasil. Penaku tidak dapat aku ajak bekerjasama. Dia macet, mati…, oh apakah kali ini aku tidak bisa membuat, dan memuat keluh kesahku.

Ya sudah, lebih baik aku tidur saja. Akan aku proses mimpiku. Aku akan menjadi raja, penguasa, dan pemimpin bagi kau. Ha…, Ha…, Ha…, aku akan bisa memerintah kalian semua. Terutama kau, akan aku jadikan punggungmu sebagai alas kakiku. Akan aku jadikan kepalamu sebagai pijakan kakiku. Akan aku buat kalian menangis, menjerit, dan memohon ampun. Aku berkuasa dengan mahkota dikepalaku, dengan cambuk di tanganku yang siap mencambukmu. Cepat kau berbuat salah. Tidak sabar aku ingin membuat punggungmu berdarah, terkoyak, teriris kulitnya.

Dengan masih tertawa aku tertidur. Berharap semua yang aku pikirkan terwujud. Dan itu terbukti, aku berhasil. Kau menangis, kau kalah. Tawaku semakin keras sampai…, kau berdiri. Aku terkejut, bukan karena kau berdiri, tapi suara itu. Suara keras, dan ramai di luar gerbang istanaku.

Hei…, Pengawal cepat lihat ke depan, cari tahu ada apa. Pengawal…, oh. Aku lupa, dalam rencanaku tidak ada pengawal dalam istana ini. Aku sendiri, ya aku sendiri. Dan kau tertawa penuh kemenangan. Kemanakah aku harus berlari. Keluar jelas aku tiada sanggup. Semua pintu telah tertutup, terjaga oleh banyaknya orang-orang di luar sana. Aku bingung…, aku bingung. Aku berlari memutari ruangan, mereka belum masuk kemari. Tapi kau tertawa, ya kau terus tertawa. Baiklah, aku akan bersembunyi di bawah kursiku. Jubah yang aku pakai akan menutupi tubuhku. Aku yakin itu. Di sini aku akan aman, tidak akan ada mata yang bisa melihatku. Tapi tangan kau menarikku. Kau seret aku keluar, kau lemparkan aku ke tangan-tangan di bawah sana yang bersiap menyambutku.

Panggung hukuman telah berdiri, dan tiang itu telah terpasang. Apakah itu untuk diriku. Ingat aku rajamu, aku pemimpinmu. Kalian tidak dapat melakukan ini. Kau…, kemarilah kau. Apakah kau yang membuat kudeta ini. Jawab…, katakan…, oh kau tersenyum.

Tidak…

Aku terbangun dari mimpi buruk yang begitu menyiksa, membuat jantungku berdegup kencang. Peluh membasahi tubuh, kasur basah oleh keringatku. Aku terduduk di tepi ranjang. Memandang kosong bintang-bintang malam. Mereka begitu indah terlihat. Tidak ada dorong-mendorong, tidak ada kata-kata kasar yang terdengar. Aku iri, aku iri dengan semua itu.

Aku berjalan keluar dari kamar, menuju dapur mengambil segelas air putih. Aku ingin rasa cemas ini cepat menghilang. Deg…, tidak.

Rasa cemasku tidak menghilang, bahkan jantungku lebih cepat berdetak. Apakah air ini telah teracuni. Apakah kau yang membuatnya. Oh…

Akhirnya malam berakhir, pagi begitu riang menyambut tugasnya. Dan aku terbangun dari atas lantai di dapur. Ternyata semalam aku tertidur di sini. Aku bersihkan tubuh yang penuh debu, dan berharap kesucian akan aku dapatkan. Aku tersenyum, ya senyumku begitu manis. Hari ini aku akan kembali berbuat baik. Dan akan aku ceritakan kepada kau, kalian, atau mereka.

Kali ini kau akan menerimaku dengan baik. Aku percaya itu. Karena aku akan membantumu kali ini. Akan aku buat kau membutuhkanku, memujiku. Ha…, Ha…, Ha…, dan tawa kemenangan akan menjadi miliku.

Aku langkahkan kaki dengan tegap, dadaku busungkan,kepalaku terangkat tinggi. Hari ini aku menanti saat dimana kau akan terjebak, kau kesulitan. sabarlah aku akan datang untuk menolongmu.

Sabar…, ya aku harus sabar menunggu. Sedetik tidak cukup, semenit akan aku tunggu, sejam biarlah aku menanti. Kau terlihat berjalan sendiri. Terburu-buru, lalu bum…, kau terjatuh.

Hore…, kali ini aku akan membantumu. Bersiaplah kau memujiku, memintaku menjadi temanmu. Aku berlari cepat, menolongmu, menarik tanganmu. Aku bereskan barang bawaanmu yang tercecer di atas jalan. Aku kebutkan celana, dan bajumu yang kotor. Tiada akan aku biarkan kau meringis sakit. Aku tuntun kau ke pinggir jalan, dan aku keluarkan segelas air yang tertutup plastik yang telah aku siapkan.

Sekarang ayo…, ucapkan kata itu. Terima kasih darimu aku nantikan. Bukalah mulutmu, dan katakan betapa baiknya aku padamu. Cepatlah aku tidak sabar.

Apa…, kau berpaling dariku. Bahkan matamu pun tidak mau melihatku. Hei…, lihat kemari, ini ada aku yang berdiri. Huu…, sombong sekali kau, tidak mengakui kebaikkanku. Tidak, menyerah tidak ada dalam kamusku. Akan aku ikuti kau terus. Kemanakah kau berjalan akan tetap aku ikuti. Tidak peduli ke gerbang neraka sekalipun. Karena aku butuh pengakuanmu. Ucapkan…, teriakan…, aku baik, aku baik, aku baik.

Aku terhenti, ya aku terhenti. Tidak dapat aku mengikutimu, kau menghilang. Bahkan mencari bayangmu pun aku tiada sanggup. Celaka…, kau tidak ada. Padahal kau belum mengucapkan kata itu. Aku rasa ada awan hitam yang menutup bayangmu itu. Detak nafasmu tidak juga aku dengar. Tulikah aku, butakah aku.

Ya sudah, aku kembali saja. Biar esok aku akan datang, dan membuatmu tersenyum. Bukan meludahi, ataupun berpaling dariku. Setapak demi setapak aku berjalan menyusuri setiap langkah yang tadi aku lalui. Tiba-tiba, mataku tertumbuk pada sebuah cermin. Cermin ajaib…, ya bisa dibilang begitu. Karena di cermin itu bukan bayangku yang terlihat, tapi ada kata-kata yang terangkai.

Aku baca kata itu, dan aku terkejut. Terasa ada sebuah tangan yang menampar wajahku. Kata itu menyindirku. Aku begitu terpukul salahkah segala tindakan yang dulu aku lakukan. Aku membantu, dan menolong seseorang hanya demi sebuah pujian. Hingga nanti aku bisa sombongkan dihadapan kau, kalian, dan mereka. Benarkah ini.

Aku bertanya pada hatiku, dan itu benar. Ya itu benar, aku butuh pujian. Aku sombong…, aku angkuh…, aku…

Pantas saja kau tidak mau menyentuhku, kalian tidak menghargaiku, mereka tidak menerimaku. Semua karena kesalahanku sendiri. Apa yang harus aku lakukan. Langit katakan padaku, angin bisikan padaku, bumi teriakan padaku, apa yang harus aku perbuat.

Aku terus berjalan dalam sepiku, dalam kalutku. Ternyata selama ini aku salah, aku lakukan kebaikan itu hanya demi pujian. Oh…, tidak.

Tidak terasa langkahku semakin jauh. Rumahku mulai menghilang di kejauhan. Dan aku tetap terpekur dalam kesedihan atas salahku, hingga…, buk…, sebuah truk besar menghantam kepalaku. Aku terkapar dengan darah yang keluar, otakku tercecer keluar, dan sebait kata terlukis di atas jalan.

Aku sombong, dan penuh keangkuhan.

Tubuhku tidak lagi dapat bergerak, mataku melihat sosok malaikat mau yang berwajah seram, dan nafas terhenti. Aku mati dalam kesombonganku, dan tersiksa di sini. Rohku hanya dapat melihat kerumunan orang yang melihat tubuh yang tiada bergerak lagi. Mereka hanya melihat tanpa mau berbuat. Riuh rendah suara yang aku dengar.

“Wah…, kematian tragis bagi si orang sombong. Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi kita.”

Suara itu mengakhiri semua ceritaku ini. Dan sekarang kau, kalian, dan mereka dapat mendengar teriakan kesakitan atas siksa yang aku dapati.

0 komentar: