
Oleh : Angri.
Aku sedang duduk di sebuah halte, dimana hanya ada diriku sendiri dibangku panjang ini. Aku bermaksud pergi ke tempat bimbingan belajarku, ini adalah hari pertamaku, dan terlambat tidak ada dalam pikiranku. Tapi waktu sepertinya enggan bersahabat denganku, 21 menit sudah diriku terpaku dibangku panjang ini. Gelisah menyerangku, doa tiada henti mengalir agar angkutan kota yang mengantarku ke sana segera datang.
Saat kegelisahan, dan kecemasaku memuncak. Hidungku mencium aroma parfum yang begitu menggoda, ku berpaling ke kiri mencari tahu siapa yang memakai parfum yang kutaksir pasti berharga mahal. Seorang cewek cantik berbaju hitam yang kontras sekali dengan warna putih kulit tubuhnya berdiri tak jauh dari tempatku terduduk. Ia membawa sebuah tas besar di tangan, sayangnya hanya sekilas bagi mataku dapat melihat wajah cantiknya. Sekilas saja bagiku sudah cukup untuk memberikan nilai hampir sempurna untuk kecantikannya. Dagu lancip terbelah, bibir tipis, dan hidung kecil mancung menjadi daya tarik pesona yang begitu besar menarik hati siapa saja yang memandang. Rambut pendeknya tidak dapat menutupi leher jenjang miliknya. Ia cantik, dan menggodaku.
Sempat pikiranku meminta kaki ini berdiri, dan meninggalakn bangku panjang yang selama, 21 menit tadi begitu setia menemaniku. Tapi keraguan hadir dalam diriku, bagaimana jika nanti cewek itu menolak kehadiranku dalam hidupnya. Apalagi jika bisa dibilang wajahku tidaklah seperti Arjuna. Aku hanya seorang cowok yang beruntung masih dapat menghirup dengan bebas oksigen yang dibutuhkan oleh paru-paru, dan jantungku. Sesaat keberanianku muncul, dan bersiap untuk menghampirinya. Sebuah mobil sedan berwarna hitam mewah berhenti di depannya. Kaca mobil itu terbuka, dan seraut wajah tua tersenyum. Cewek itu berjalan perlahan, tangan kecilnya dengan lembut membuka pintu mobil. Sebelum pikiranku bermain, mobil itu pergi berlari meninggalkanku sendirian lagi.
Siapakah cewek itu, kenapa ia naik mobil sedan itu, dan siapa orang tua yang ada di mobil itu, apakah ayah, atau pamannya. Kenapa pikiranku bermain teka-teki tentang cewek itu ya. Hufh, untuk apa aku memikirkannya.
Akhirnya angkutan kota yang sejak, 23 menit yang lalu aku tunggu terlihat. Aku berdiri, dan melangkah dengan perlahan hingga ke pinggir jalan. Tanganku lambaikan agar supirnya dapat meilhat aku sebagai penumpang yang akan memberikan rejeki untuknya. Wah sedikit penih nih, pikirku saat melihat ke dalam angkutan yang akan mengantarkanku ke tempat tujuanku. Aku memilih duduk di dekat jendela belakang, tepat di depanku ada seorang bapak yang sedang membaca Koran. Mataku melihat kolom Koran yang begitu menarik. Tertulis “Anak SMP Tertangkap di Kamar Hotel.” wah berita apalagi ini. Gila, ternyata anak SMP itu perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Hanya untuk membeli HP terbaru yang bisa membawanya ke pergaulan modern saat ini. Ia rela menjual kehormatan diri, dan alasan kenapa ia melakukan semua itu, karena ketidak mampuan orang tua untuk memenuhi keinginannya. Lebih gila lagi, teman sebangkunya yang mengenalkan ia dengan lelaki tua yang membawa dirinya ke hotel tersebut. Waduh, apakah moral anak muda di kota, di negeri kami ini sudah rusak. Aduh, kenapa aku lupa. Jangan, jangan cewek yang tadi naik mobil bersama orang tua itu juga akan melakukan hal yang sama.
Kenapa juga pikiranku tertuju kepada cewek itu. Apa peduliku, aku tidak kenal sama dirinya, dan juga siapa aku baginya. Di saat pikiranku masih saja tertuju kepadanya, angkutan kota yang aku naiki berhenti. Seorang cewek yang berwajah tidak terlalu cantik, tapi menarik karena alisnya yang tebal naik. Ia duduk di sebelahku, Mayang Lestari namanya, aku bisa tahu karena namanya ada di seragam sekolah yang dipakainya. Nama yang indah, cocok sekali, kesempatan nih pikirku. Apalagi tempat tujuanku masih sedikit jauh. Aku beranikan diri untuk menyapanya, tanpa peduli dengan penumpang lainnya.
“Hei, apa kabar?” tanyaku.
“Baik.” jawabnya merdu sekali.
“Kamu Mayangkan?” tanyaku pura-pura mengenalnya.
“Tahu dari mana?” katanya.
“Itu dari nama yang ada di bajumu. Namanya bagus lho. Aku suka.” terangku kepadanya.
“ooo… kalo gitu curang donk. Kamu tahu namaku, tapi aku engga.” rengeknya.
“Namaku, Ical.” jawabku tegas, dan tersenyum.
“Ical ya, kamu mau kemana?” tanyanya.
“Aku mau ke ‘Cakra Ilmu’ itu tempat buat nambah beban otakku. Di sekolah padahal dah belajar nih, tapi masih butuh juga sih nambah-nambah kepinteran. Kita kan harus bisa jadi orang pinter, iya ga.” Aku memberikan penjelasan kemana tujuanku.
“Wah sama donk. Aku juga mau ke sana. Asyik nih, belum masuk dah dapet kenalan cowok ganteng.” balasnya, sambil melirik kepadaku.
Baru kali ini ada pujian ganteng bagiku. Bisa besar kepala nih. Biarin ah, kapan lagi ada pujian seperti ini.
“Nah itu tujuan kita. Bang kiri…,” kataku, dan meminta supir untuk berhenti. Aku biarkan Mayang turun terlebih dahulu, girls first deh pokoknya. Sebelum Mayang mengeluarkan uang, cepat sekali tanganku memberikan selembar, 10 ribuan kepada Bang supir. Mulutku langsung saja berkata “Dua Bang.” waduh…, padahal ga ada nih niat untuk mengongkosi Mayang. Tapi ga masalah deh, siapa tahu Mayang akan tertarik kepadaku. Sekilas lirikan mataku melihat senyum Mayang.
“Terima Kasih Cal.” katanya.
Aku membalas senyumnya, dan “Ga masalah, yuk…, kita masuk.” ajakku.
Umurku menginjak,15 tahun, tapi baru kali ini bisa berjalan berdua saja dengan seorang cewek. Bukan aku tidak suka dengan mahluk yang bernama cewek, tapi aku terlalu sibuk belajar, dan bekerja. Pulang sekolah sih biasanya aku membantu ayah menjual baju di pasar. Kesibukanku itu yang membuat tiada kesempatan bagiku untuk jalan berdua dengan cewek. Hari ini semuanya berubah, Mayang mau berjalan bersamaku. Senang rasanya.
Selama di dalam kelas, otakku tidak dapat menerima pelajaran yang diberikan oleh pembimbing. Pikiranku penuh dengan bayangan Mayang, senyumnya, matanya, apalagi dengan alisnya itu. Kapan sih akan berakhir jam ini, aku ingin segera bertemu Mayang.
Penantian membosanku akhirnya berakhir. Bel tanda selesainya pelajaran berbunyi, tanganku sigap membereskan semua buku yang ada di atas mejaku. Kakiku cepat melangkah keluar, kebetulan kelas kami berbeda. Aku menunggu di depan kelas Mayang, 1 menit, 2 menit, 3 menit. Kemana Mayang, tidak ada sosoknya. Ruang kelasnya sudah kosong, tapi ia tidak ada. Aku berlari mengejar orang terakhir yang baru saja keluar kelas, aku tarik tanganya, dan memintanya berhenti.
“Non. Maaf, kenal ga sama Mayang?” tanyaku.
“Mayang Lestari ya?” dia malah kembali bertanya kepadaku.
“Ya.” jawabku cepat.
“Tadi sih, sebelum kelas dimulai, Mayang mendapatkan telepon tuh. Lalu pergi, dan ga balik lagi.” terangnya.
“Kamu tahu kemana Mayang pergi?” tanyaku lagi.
“Ga tahu tuh. Tapi kayaknya sih…,” jawabnya sambil memotong pembicaraannya.
“Tapia pa?” tanyaku penasaran.
“Ga ah…, tar kamu tahu sendiri kok. Tapi kalo boleh kasih saran nih, jangan deket-deket sama Mayang deh!” perintahnya kepadaku.
“Emang ada apa dengan Mayang?” rasa penasaran membawaku kembali bertanya kepadanya.
“Cari tahu sendiri aja deh.” jawabnya, sambil melangkah pergi.
Aku tidak dapat mencegahnya. Ada apa ini, ada apa dengan Mayang, informasi yang aku dapat membuatku penasaran. Haruskah aku mencari tahu tentang diri Mayang yang sebenarnya. Tapi Mayang bukan pacarku, aku baru saja mengenalnya. Dengan langkah lesu, aku berjalan menuju halte yang terletak di seberang tempat bimbingan belajarku. Aku terkejut, di bawah halte itu terlihat sosok cantik bagaikan ‘Bidadari’ yang sepertinya sedang menunggu seseorang. Cewek berbaju hitam tadi, dia berdiri di sana. Secepat kilat aku menyeberang jalan, memastikan kali ini aku akan bisa mengenal siapa namanya. Amboy…, dia tersenyum kepadaku, sesaat aku berhasil menyebrang jalan. Cantik sekali ia waktu tersenyum.
“Wah…, kalo nyebrang lihat kiri-kanan donk. Masa sih harus terobos aja. Masih mending anak kecil tuh. Nanti kalo ketabrak siapa tuh yang rugi?” katanya tiba-tiba kepadaku, seakan-akan dia mengenalku.
“Abis buru-buru nih.” jawabku.
“Buru-buru, kenapa?” tanyanya kepadaku.
“Aku lihat ada bidadari yang baru turun dari langit nih.” jawabku seenaknya.
“Bidadari?” tanyanya dengan wajah keheranan.
“Iya bidadari. Sekarang lagi berdiri di depanku.” kataku menggodanya.
“Ha…, Ha…, Ha…, siapa aku? Bisa aja kamu. Oya namaku Febi, kamu siapa?” tertawanya begitu riang, dan dia memberikan tangannya sambil memperkenalkan namanya, dan menanyakan namaku.
“Aku Ical.” jawabku cepat.
“Kamu ambil tambahan belajar ya?” tanyanya lagi.
“Iya. Kalo kamu?” jawabku, dan tanyaku.
“Sama. Oya bukannya kamu yang tadi siang itu kan, kalo aku tahu, kita bisa bareng tadi.” katanya.
“Jangan dipikirin lagi.” kataku.
“Gimana kalo kita pulang bareng aja?” katanya menanyakan kesedianku untuk pulang bersama.
“Boleh aja, kalo ga keberatan. Lumayan uangnya bisa aku tabung nih.” jawabku dengan hati senang.
“Kata siapa? Bayar lagi. Ga ada yang gratisan di dunia ini.” jawabnya sambil sedikit menggoyangkan bahunya.
“Wah…, bayar ya.” jawabku pura-pura terkejut.
“Tenang aja lagi orang aku bercanda kok. Kita kan searah nih, kebeneran kita bisa bareng.” balasnya.
Kami berdua terlibat perbincangan yang cukup seru, saling menanyakan segala hobi, sekolah, dan lainnya. Febi begitu menikmati pembicaraan yang aku coba buat. Tidak terasa sudah cukup lama kami berdua berdiri, ia tampak cemas. HP yang ada di dalam tasnya dikeluarkan, dan ia meminta maaf kepadaku. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi karena kata ibu kalo orang itu harus pandai meminta maaf, dan member i maaf, ya aku maafkan saja. Lincah jarinya memencet tombol nomor, tak berapa lama ada suara di ujung telepon sana. Oh…, kiranya ia menelepon seseorang yang akan menjemputnya.
10 menit setelah Febi menelepon, mobil sedan hitam yang tadi aku lihat tampak berjalan perlahan menuju ke arah kami berdiri. Kami segera saja masuk ke dalam mobil, apalagi malam akan segera datang. Dan yang membuat aku terkejut, Febi duduk bersamaku di belakang.
“Cal…, kenalkan tuh…, Om Marwan. Dia supir keluargaku.” katanya memperkenalkan orang tua yang duduk di belakang kemudi. Oh…, ternyata orang tua yang kulihat tadi siang adalah supir keluarga Febi. Untung saja tadi aku tidak berpikiran buruk tentang Febi, ia ternyata cewek yang baik.
“Cal…, Cal…, kok bengong.” ucapan Febi membuat aku tersadar. Segera aku sodorkan tangan, dan menyebut namaku.
“Ical.” ucapku.
Perbincangan yang tadi sempat terputus kami lanjutkan. Terkadang om Marwan sekali-kali ikut masuk dalam pembicaraan kami. Om Marwan supir yang baik, ia begitu hormat kepada Febi, bahkan kepadaku juga. Oh ya, om Marwan memanggilku Den Ical. Ha…, Ha…, Ha…, orang aku tidak ada keturunan bangsawan kok dipanggil Den Ical.
Tidak terasa, karena saking mewahnya mobil yang aku naiki. Ditambah dengan AC yang dingin, aku tidak begitu memperhatikan jalan. Selain karena alasan tadi, aku juga begitu senang bisa berbincang dengan Febi, dan om Marwan. Halte tempat aku menunggu tadi siang telah tampak. Mobil berhenti tepat di halte yang memang selalu saja sepi. Aku segera turun dari mobil, dan mengucapakan rasa terima kasihku. Jalan kecil di belakang halte adalah jalan menuju ke rumahku, sedangkan Febi masih harus berjalan sedikit lagi. Jalan besar di sebelah jalan kecil menuju rumahku adalah rumahnya. Kebetulan sekali, letak rumah kami tidak terlalu jauh. Sebelum aku turun, Febi menawarkan diriku untuk ikut bersamanya jika mau ke sekolah, atau ke tempat bimbingan belajar kami. Dan sekali lagi kebetulan, sekolah Febi bersebelahan dengan sekolahku.
Hanya sebentar saja aku sempat beristirahat, saat ayah pulang dari pasar sambil membawa sekantong plastik yang cukup besar. Aku yakin yang ada di dalam plastik itu adalah baju. Benar saja keyakinanku, ayah meminta aku mengantarkan baju yang ada di dalam plastik itu ke rumah Bapak Toni. Bapak Toni mempunyai rumah yang besar, dan juga rumahnya berdekatan dengan rumah Febi. ia termasuk orang kaya yang sering membeli baju ke ayah. Sebenarnya apa yang aku lakukan pada saat mengantarkan pesanan Bapak Toni adalah hal yang salah. Karena rasa curigaku, aku beranikan diri untuk melihat isi kantong plastik yang ada di tangan kananku. Aku tahu isi di dalamnya adalah baju, tapi baju apa?
Baju cewek…, lho kok baju cewek…, bukannya Bapak Toni tidak mempunyai anak cewek. Pikiranku membawa kecurigian begitu besar dalam hatiku. Ya sudahlah, apa peduliku, tugasku hanya mengantarkan baju ini, dan menerima uang pembayarannya darinya. Biasanya ia akan memberikan kelebihan pembayarannya, dan uang lebih itu untuk kantongku. Ia merupakan teman lama ayah, jadi alasan kenapa ia sering membeli baju ke ayah, karena ia sudah berhasil, dan sukses dalam hidupnya. Prinsipnya menolong teman lama yang bagi mereka berdua seprti sebuah keharusan saja.
Itu rumahnya, pagarnya terbuka, berarti aku tinggal masuk saja. Aku pencet bel yang ada di dinding teras rumah. Tidak berapa lama aku dengar suara langkah kaki, dan pintu yang tertutup terbuka. Pak Toni tersenyum melihatku, dia mempersilahkan aku masuk, dan mengajakku duduk di ruang tamunya.
“Kantong itu pesanan Bapak ya, Cal?” tanyanya.
“Betul Pak.” jawabku. Aku serahkan kantong yang dari tadi ada di tanganku.
“Terima Kasih Cal. Sebentar ya…, Mayang…, Mayang…, kemari kamu!” suaranya membuat aku terkejut. Mayang, nama yang Aku kenal. Benar saja pikirku, Mayang tampak keluar dari kamar, dan dia terlihat lelah sekali.
“Ada apa sih Om…,” katanya manja sambil tangannya menggandeng mesra.
“Nih, kamu kan tadi minta dibelikan baju. Coba kamu lihat, dan pakai. Apa pantas untukmu!” perintah bapak Toni kepada Mayang.
“Makasih Om…, tapi Mayang mau ditemani sama Om…,” katanya lagi manja, dan matanya melirik kepadaku. Mereka berdua segera masuk ke dalam kamar, entah apa yang mereka lakukan aku tidak tahu. Bapak Toni memang hidup sendiri saja di rumah ini, istrinya sudah lama meninggal, anak pertamanya sudah menikah, dan anak bungsunya pergi kuliah ke Austria. Jadi itulah yang menyebabkan ia hidup sendiri. Tidak berapa lama, mereka berdua keluar dari kamar, wajah mereka terlihat gembira. Bapak Toni mengantarkan Mayang hingga ke pintu, dan aku melihat tangannya memberikan amplop putih yang aku tidak tahu apa isinya. Hanya pikiranku yang berkata bahwa itu adalah uang. Sebelum pintu terbuka, mereka berbicara sebentar.
“Mayang…, besok kamu datang lagi ya! Om akan memberikan lebih banyak lagi uang yang kamu butuhkan. Semoga uang itu bisa menambah uang sekolah kamu, dan biaya operasi ibu kamu.” ucapnya kepada Mayang.
“Lihat besok saja ya Om. Mayang pulang dulu ya.” jawabnya.
Bapak Toni menganggukan kepala, dan mencium kening Mayang. Semua ini mereka lakukan di depan mataku tanpa rasa malu sedikitpun. Mayang pura-pura tidak mengenalku,gila apakah dunia ini sudah gila. Bapak Toni menghampiriku, ia membayar pesanannya, dan berpesan kepadaku agar tidak menceritakan hal ini kepada kedua anaknya, serta orang lain. Sebagai jawaban, aku hanya diam.
Aku meminta ijin kepadanya, dan berjalan pulang dengan pikiran yang berkecamuk. Hatiku berperang, berdebat, dan berpendapat. Langkah kakiku berjalan perlahan,dan sepanjang jalan pikiran tentang apa yang kulihat terus saja mengganguku.
Cewek yang pertama kali aku berjalan bersamanya, ternyata hanyalah cewek yang sama dengan berita yang aku baca tadi. Padahal aku sudah begitu mengharapkan mengenalnya lebih jauh lagi. Kenyataannya aku tertipu, apakah ini yang dimaksud oleh cewek yang aku temui di tempat bimbingan belajarku. Mayang…, kau menipuku…, kau hancurkan harapanku…, aku sempat berpikir kau adalah gadis yang baik…, tapi apa kenyataannya. Febi…, sempat aku berpikir kau adalah gadis yang buruk…, tapi aku salah.
Ada apa dengan dunia ini, bukankah seharusnya kami yang masih teramat muda ini disibukan dengan belajar, belajar, belajar. Bukan melakuakan perbuatan yang hina, dan merugikan kami. Apakah kembang kota tidak diperbolehkan mekar dengan sempurna, dan dipetik saat ia sudah pantas dipetik. Kenapa sekarang, saat kembang itu belum mekar dengan baik, kembang yang masih perlu diberi air, pupuk, dan penjagaan. Kenapa harus diminum madunya…, kenapa? Kenapa tidak biarkan kembang itu bermandikan cahaya matahari, bermandikan embun pagi tanpa harus tercabut dari tangkai, dan akarnya. Gila…, siapakah yang gila. Bapak Toni, dan Mayang, gadis SMP itu, dan lelaki di dalam hotel, atau ‘AKU’
Mayang alasan apapun yang kamu lakukan, maafkan aku. aku tidak dapat membenarkannya, aku tidak dapat berkata tindakanmu benar. Biarkan…, biarkan…, biarkan Sang Pencipta yang akan memberikan penilaiannya. Tapi aku hanya berkata…, berhentilah Mayang, berhenti, dan cukup kau nistakan kehormatanmu.
0 komentar:
Posting Komentar