Rabu, 31 Maret 2010

Mak Irah

Rabu, 31 Maret 2010




Mak Irah menhembuskan nafasnya. Ia sedang berada di sebuah pondok kecil di tepi sawah yang harus dijaganya. Masa panen hampir tiba, padi-padi yang menguning akan menjadi santapan empuk burung-burung. Mak Irah dengan tangan kurusnya menarik tali temali yang mengikat boneka sawah agar bergerak. Boneka sawah itu akan mengusir burung-burung yang berani datang mendekat tanpa Mak Irah harus turun dan menghela mereka dengan tubuhnya.

Hampir sepanjang hari di waktu siang, Mak Irah berjuang mempertahankan hidupnya dengan menjadi buruh tani bagi Juragan Anton. Sudah sekitar 30 tahun Mak Irah menjadi anak buah Juragan Anton yang terkenal loyal dan baik hati pada semua orang tapi pelit pada Mak Irah.

Perubahan sikap juragan Anton dimulai 5 tahun lalu, anak gadis Mak Irah yang bernama Santi ingin dipersuntingnya. Namun Santi menolak dengan alasan tidak mau menjadi istri yang ke-4 Juragan Anton. Mak-nya sudah berusaha membujuk dengan berbagai cara tapi tetap tidak diidahkannya. Puncaknya Santi keluar dari rumah sempit yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ditinggalkannya Mak Irah dalam kesepian dan kesedihan.

Mak Irah termenung saat mengingat kepingan masa lalunya yang begitu mengharu-biru hidupnya. Ia tidak bisa menyalahkan Santi, Juragan Anton pun tiada sanggup ia salahkan. Mak Irah hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa memberi pengertian yang cukup untuk Santi.

Wajah Mak Irah begitu sendu, awan hitam terlihat bergelayut manja di sinar matanya. Rona gelap raut mukanya tidak bisa disembunyikan walaupun ia tersenyum. Itulah yang membuatku sering mengunjunginya seminggu terakhir ini.

Seminggu yang lalu, aku baru saja menjejakkan kakiku di kampung di mana Mak Irah tinggal. Perjalananku kemari bukan bermaksud mengunjungi keluarga atau temanku, sebatas berpetualangan saja. Ketika itu aku melihat Mak Irah yang sedang duduk bertopang dagu. Matanya terlihat mengantuk tapi dirinya tidak. Dipaksakannya dirinya terus berjaga agar burung-burung tidak mempunyai kesempatan berpesta pora.

Karena melihat semangat Mak Irah, aku memutuskan mendatanginya. Sekedar bertegur sapa dan siapa tahu aku bisa menginap di rumahnya, itu pikirku awalnya.

“Selamat siang, Mak …,” sapaku sopan.

“Si … siang,” jawabnya terkejut.

“Mak sendiri saja? Kemana yang lain?” tanyaku.

“Kamu siapa, Nak? Mak tidak kenal kamu?” tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku garuk-garuk kepala, betapa bodohnya aku tidak memperkenalkan nama terlebih dahulu.

“Aku Abdi, Mak. Mak sendiri siapa namanya?” tanyaku kembali sambil menyodorkan tangan.

“Irah … panggil saja Mak Irah!” ucapnya pelan sambil menggengam tanganku. Tangannya dingin sekali.
“Mak Irah sakit, ya?”

“Tidak,” jawabnya dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Tapi tangan Mak dingin sekali,” ucapku penasaran.

“Tangan dingin ini tidak seberapa, Nak Abdi. Dinginnya hati ini yang begitu menyiksa,” tuturnya dengan wajah yang tertunduk.

“Kenapa Mak? Bolehkah Abdi mendengarnya!” mintaku.

Mak Irah menatapku dengan bola matanya yang menampakan rasa penasaran dan ketidaksukaannya.

Aku yang baru dikenalnya berani meminta ia bercerita tentang masa lalunya. Berani sekali.

“Mak tidak usah takut! Abdi bisa menjaga rahasia itu.”

“Benarkah?”

Aku tersenyum dan menyentuh lembut tangan tua itu.

“Dengarlah…! Hati Mak begitu dingin sejak kepergian anak Mak satu-satunya, Santi. Dia pergi begitu saja tanpa mau membawa Mak-nya ini ikut serta. Hingga Mak harus seperti ini, dipandang hina dan rendah oleh orang lain.”

Mak Irah menghela nafasnya lalu ia menatapku memastikan apakah aku tertarik mendengar ceritanya atau tidak.

“Sampai sekarang, Mak sama sekali belum mendapatkan kabar darinya. Sepucuk surat atau salam tiada pernah datang. Sudah lima kali lebaran dia tidak pernah mengunjungi Mak, bersimpuh dan memohon ampunan. Mak rindu dengan kehadirannya, senyumnya dan tawanya.”

“Kenapa Santi pergi meninggalkan Mak?’

“Dia tidak mau Mak nikahkan dengan Juragan Anton pemilik sawah ini.”


Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tega sekali anak itu, gadis itu, Santi. Dia meninggalkan Mak-nya sendirian dalam ketidakpastian.

“Lalu apa yang diperbuat oleh Juragan Anton, Mak?”

“Hehehe … dia … dia … dia marah. Tapi dia masih mau memperkerjakan Mak di sini tanpa adanya kenaikan upah.”

Mak Irah menatap langit yang mulai menghitam sesaat ia menutup ceritanya.

“Kejam sekali, kenapa dia melakukan itu Mak?’

“Karena dia yang mempunyai uang, dia yang berkuasa di sini. Namum … dia tidak akan pernah menguasai hidup Mak. Karena hidup dan nafas Mak hanyalah punya Sang Kuasa, Sang Pencipta.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar ucapan Mak yang terakhir itu.

“Nak Abdi, hari sudah sore. Mak harus segera pulang. Kamu mau ke mana?”

“Aku tidak tahu Mak. Aku harus tidur di mana. Rencananya aku ingin tidur di rumah Mak, tapi Mak hidup sendirikan. Abdi tidak berani, Mak.”

Mak Irah memandangku. Wajah kelamnya tersenyum lalu helaan nafas diikuti oleh ucapannya.

“Benar sekali, Nak Abdi. Kamu tidak boleh tidur di rumah Mak. Karena tidak ada sosok lelaki pun di rumah. Bagaimana kalo kamu tidur di mushola kampung ini saja?”

“Iya, Abdi baru saja berpikir seperti itu Mak. Tunjukan Abdi mana jalannya Mak!”

Akhirnya kami meninggalkan pondok di tepi sawah dan berjalan menjauh. Rumah Mak Irah tidak jauh dari sawah tempat dia menggantungkan hidup, tapi karena ia mau mengantarkan aku maka kami terus berjalan. Setelah mushola terlihat, Mak Irah meninggalkanku sendiri.

Semenjak itulah kami sering berbicara panjang lebar. Tentang kehidupan Mak Irah, tentang kehidupanku dan yang paling mengesankan tentang petuah-petuah bijaknya. Aku sangat senang dengan satu petuahnya, “Hidup ini bagaikan kepingan kaca yang berserakan. Jika kamu bisa menyatukannya maka hidupmu akan dibayangi oleh beragam kesuksesan. Jika kamu masih belum bisa berusahalah. Jangan tinggalkan kepinganmu di tempat di mana kamu menginjaknya. Jika sudah tidak lagi dipergunakan kepingan itu, buanglah sejauh mungkin hingga kamu tidak lagi mengingatnya.” Entah apa arti petuah itu, tapi aku suka sekali.

Sore itu, di mana aku belum sempat menemui Mak Irah di siang hari karena kebetulan aku membantu membersihkan mushola. Setelah selesai secepat kilat aku berlari ke tempat pertemuanku dengan Mak Irah. Sayangnya aku datang terlambat. Saat aku sampai Mak Irah melambaikan tangannya ke arahku bukan memanggilku lebih tepat lambaian itu seperti mengucapkan selamat tinggal. Mak Irah tersenyum manis sekali bersama wajahnya yang bersinar begitu cerah.

Aku percepat langkahku mengjenguknya lalu…

Tubuh tua Mak Irah berguncang, ia berteriak, “Allahu Akbar.”

Perlahan-lahan, mata tuanya menutup, hembusan nafasnya berhenti, detak jantung tiada terdengar. Aku berlari mengejar agar tubuhnya tidak jatuh ke atas bumi. Mak Irah meninggalkanku, meninggalakan berjuta kenangan dan petuangnya bagiku.

***

Malam itu aku menceritakan pengalamanku berada di kampung Mak Irah pada pacarku, Ranti. Gadis yang aki cintai tapi aku tidak tahu darimana asal-usulnya. Namun yang menjadi pertanyaanku, Ranti menangis sesaat aku selesai bercerita, bukan hanya menangis biasa saja. Tapi dia berteriak-teriak bagaikan orang gila. Apakah Ranti itu Santi?

0 komentar: