Senin, 28 Februari 2011

Di Atas Meja

Senin, 28 Februari 2011

Lelaki muda berpakaian seragam OB tampak berjalan menuju ruang kantor utama, tempat Pak Bos berkantor. Langkahnya pasti. Dia memegang amplop besar warna coklat. Begitu sampai di pintu yang terbuat dari kayu jati, dia menghela nafas.

Tok… Tok… Tok.

“Masuk!” seru suara dari dalam kantor sebagai jawaban dari ketukan di pintu.

Pintu terbuka dan masuklah si OB dengan tatapannya menumbuk pandangan si Bos. Senyum terkembang terlukis di wajah si Bos.

“Oh, Pardi. Silahkan duduk!” tawarnya manis dengan tangan membuka mempersilahkan OB yang bernama Pardi untuk duduk di depannya.

“Terima kasih, Pak Bos,” ucap Pardi dan dia berjalan mendekat. Tapi berhenti tepat di samping kursi empuk berkulit hitam.

“Loh, duduklah!” tawar Bos dengan lembut.

“Tidak, Pak. Saya berdiri saja,” tegas Pardi dan matanya melirik ke amplop kecil berwarna putih di atas meja.

“Ya, sudahlah!” seru si Bos sambil mengangkat bahu. “Kebetulan kamu datang. Padahal saya baru saja mau memanggilmu.”

“Berarti Pak Bos tak perlu lagi memanggil saya.”

Si Bos mengangguk. Lalu tangannya meraih amplop putih dan langsung menyodorkannya ke Pardi.

“Ambilah!” perintahnya.

“Buat apa Pak Bos?” tanya Pardi heran. Tapi tangannya sama sekali tak menyentuh amplop tersebut.

“Bonus karena pengabdianmu yang tinggi.”

Pardi tertawa kecil. “Pak Bos lupa, ya? Saya kan baru 1 bulan bekerja di sini.”

Si Bos terkejut. “Oh, saya pikir kamu sudah 1 tahun di sini. Tetapi tak apa-apa. Kamu ambil saja, anggap saja sebagai bonus karena kerjamu yang rajin.”

Kembali Pardi tertawa. “Pak Bos –Pak Bos. Sayang sekali, amplop putih yang tertutup ini begitu bersih, tetapi di dalamnya mungkin saja kotor dan bau.”

“Maksudmu apa?” marah si Bos.

“Hm, jika Pak Bos merasa saya akan tutup mulut setelah melihat kelakuan bejat kemarin sore dengan uang ini, maka Pak Bos salah besar. Tanpa Pak Bos minta pun, saya akan tutup mulut serapat-rapatnya,” jelas Pardi. Dia menarik nafas dan menghelanya. “Karena kedatangan saya kemari buat memberikan surat pengunduran diri!”

Si Bos berdiri. “Kamu lancang Pardi!” tunjuknya. “Beraninya kamu bicara seperti itu!”

“Siapa yang lancang di sini, Pak Bos?” senyum Pardi. “Tentu saja saya berani bicara dengan Pak Bos, yang sekarang bukan lagi Bos, saya.”

“Jadi kamu mau memeras saya?” geram si Bos.

“Untuk apa?” tanya Pardi lantang. “Saya bukan manusia yang mau memanfaatkan kesalahan orang lain. Saya hanya tak mau suatu hari nanti kembali melihat perbuat bejat seperti kemarin sore. DOSA! SALAH BESAR!”

Si Bos melotot. Pardi tersenyum dengan ramah, matanya lembut menatap Bos.

“Permisi, Bos, saya pergi!” seru Pardi ramah. Lalu berbalik, tapi hanya 3 langkah, dia kembali menghadap Bos. “Bos, maafkan saya jika lancang bicara seperti ini. Bertobatlah Bos! Kesenangan dunia hanya sesaat, kesenangan akhirat itu selamanya. Saya yakin Bos pasti mempunyai hati nurani, hingga tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama.”

Pardi pun pergi meninggalkan si Bos yang duduk lemas di kursinya yang empuk. Begitu pintu tertutup, Bos menundukkan wajahnya. Isak tangis kecil terdengar. Lalu dia meraih HP-nya dan memencet sebuah nomor. Begitu tersambung.

“Bu, maafkan Bapak yang telah menodai ikatan suci kita.”

0 komentar: