Senin, 28 Februari 2011

Maafkan Aku Yang Menunggu Jawabanmu

Senin, 28 Februari 2011
Brak!

Pintu kamarku terbuka dengan menimbulkan suara keras. Aku yang sedang mengikat tanganku sambil menunduk, terkejut. Aku mendongak dan rasa kejutku bertambah. Di depan pintu dengan wajah marah berdiri Dila, gadis yang kucinta. Langkah kecilnya perlahan masuk dan tiba-tiba tangannya telah terukir manis di pipiku.

“Apa Mas belum puas menyakiti diri sendiri?” marah Dila sambil mengambil alat suntik dan melemparnya ke sudut kamar. “Pikir Mas!” Apa Mas tahu, kelakuan Mas ini telah menyakit hati Dila!”

“Maaf!” keluhku pelan.

“Maaf! Maaf saja gak cukup, Mas! Berhentilah! Dila memohon pada Mas, jika benar Mas menyayangi Dila? Mas jahat!”

Aku berdiri. “Bukankah selama ini Mas telah membuktikan kasih sayang itu pada Dila? Tapi Dila selalu menolak kehadiran Mas!” kerasku tak mau kalah.

“Kasih sayang apa?” isak Dila. “Mas hanya memberikan Dila materi. Tanpa Mas mau mengerjakan Ibadah. Dila butuh Imam bukan hanya sekedar harta!” serunya.

“Kenapa kamu tak katakan itu dari dulu?”

“Dulu! Sudah beratus kali Dila mengingatkan Mas akan hal itu. Tapi buktinya apa?” isak Dila mulai berkurang. “Mas lebih asyik berbohong dan sekarang baru Dila tahu, kalo Mas suka memakai obat terlarang.”

“Dila, Mas seperti ini karena telah lelah menunggu jawabanmu. Terus suasana keluarga Mas yang tak nyaman, membuat Mas lari.”

“Alasan kosong. Lari ke dalam pelukan Allah itu lebih baik, Mas. Bukan ke dalam alam mimpi yang dibuat oleh benda terlarang itu!” tunjuk Dila pada serbuk putih yang tercecer di kasur dan lantai.

“Maafkan Mas!”

“Hm, tak semudah itu. Berjanjilah pada Allah, Mas tak akan menyentuh barang haram ini lagi. Lalu segeralah mengerjakan segala amal ibadah Mas yang telah terbengkalai. Mungkin…”

“Mungkin apa?”

“Mungkin Mas benar-benar bisa menjadi Imam buat Dila,” jawab Dila tersenyum.

“Benarkah?”

“Ya! Asal Mas benar-benar bertobat dan belajar agama dengan tekun. Dila akan berikan Mas kesempatan lagi.”

Aku melompat kegirangan. Tanpa sadar aku meraih tangannya yang langsung ditariknya.

“Bukan muhrim, gak boleh!” jawabnya pelan.

Aku tersenyum. “Terus kok tadi tangan Dila mampir ke pipi Mas?”

Pipi Dila bersemu merah. “Maaf, Mas. Itu karena Dila begitu takut dan marah, hingga lepas kendali.”

“Takut kenapa dan marah kenapa?” kejarku.

“Takut Mas akan mati disebabkan benda terlarang itu. Kan, Mas belum jadi Imam buat Dila! Itu yang membuat Dila marah sama Mas,” terangnya.

Aku tertawa keras. Bahagia! Dila ingin aku jadi Imam baginya. Hm, saatnya bertobat dan melaksanakan Solat Asharku. Karena kebetulan Adzan telah masuk. Dila pun tersenyum senang, kala aku mengajaknya Solat bersama.

Oleh Angri

0 komentar: