Sabtu, 26 Februari 2011

Kuberikan Tanda Cinta Untukmu

Sabtu, 26 Februari 2011
Kupandangi boneka keramik berbentuk sepasang merpati putih kecil di etalase toko di depanku. Kata banyak orang, merpati itu lambang cinta suci. Karena itu, aku bermaksud untuk membeli boneka merpati tersebut. Sempat aku meragu, haruskah aku masuk? Sebabnya harga yang tertera tidak bisa kupenuhi. Uangku hanya 50 ribu, sedangkan harga yang dipasang 100 ribu, masih kurang setengahnya, jika aku tak salah hitung. Sempat aku meragu, haruskah aku masuk ke dalam dan mencoba menawar?

“Indah sekali sepasang merpati itu, ya?” suara asing terdengar dari samping kiriku.

Aku menengok, seorang pria berambut perak dan wajah keriput berdiri sejajar denganku. “Ya! Kakek tahu darimana, jika saya memandangi sepasang merpati itu?”

Kakek itu tertawa lepas. “Haha.. anak muda, Kakek dulu pernah muda. Dan seingat Kakek, dulu pernah memberikan hadiah seperti itu,” tunjuknya.

“Benarkah? Lalu apa yang terjadi, Kek?”

Kakek itu tersenyum penuh misteri. Lalu tangan tuanya merangkulku. “Kamu akan tahu sendiri, ketika kamu memberikannya pada dia yang kamu cintai. Apakah kamu suka dengan merpati itu?”

Aku menoleh dan menatap Kakek. “Sepertinya aku tak sanggup untuk membelinya, Kek!” gelengku. “Uangku tak cukup!”

Kembali Kakek itu tersenyum. Lalu dia masuk ke dalam toko. Dia berbicara dengan seorang pegawai dan pegawai itu dengan langkah tenang mengambil boneka yang kumau. Aku terkejut sekaligus berharap boneka itu akan menjadi hadiahku. Dan itu bukan mimpi.

Dengan langkah pasti, si Kakek mendekatiku. Di tangannya tergenggam boneka merparti dan tanpa menunggu lama, boneka telah berpindah tangan padaku.

“Ambilah, anggap saja ini rejekimu. Berikanlah pada dia yang kamu cintai dan menunggu kedatanganmu. Tapi ingat, kamu harus rela!”

Si Kakek pun pergi tanpa sempat aku bertanya, apa maksud perkataannya tadi?

Kini aku telah berada di kamar putih seukuran 4 x 6. Terasa luas, tapi begitu sempit. Di tengah-tengah ada ranjang kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Dan di atas ranjang itu, terbaring sosok gadis yang kukenal lama. Aku pun berjalan mendekat. Mataku menatap haru. Tubuh gadis yang ingin kutemui hanya bisa terbaring diam dengan mata tertutup. Hidungnya dimasuki selang kecil sebagai pengantar oksigen ke dalam paru-parunya. Di tangan kanannya terpasang jarum infus Wajahnya terlihat begitu pucat, seakan-akan dirinya sudah tak ada lagi di dunia ini.

Aku berdiri di sebelah kanannya. Aku pandangi dirinya sedih. Tanganku merogoh kantong jaket dan mengeluarkan boneka merpati. Lalu dengan perlahan dan tangan gemetar, aku taruh boneka di tangannya yang lemas. Dan kukepalkan tangannya. Aku menunduk dan berbisik.

“Kuberikan tanda cinta untukmu, duhai kekasih hati sepanjang masaku. Aku menunggumu di sini dengan kerelaan dan berharap yang terbaik untukmu.”

Teeeet…

Aku terkejut, terpana sesaat. Kemudian kepanikan melandaku.

“Dokter… Tolong! Suster… Tolong!” teriakku bagai orang gila dan aku lupa, kenapa tak kupencet tombol merah tanda bahaya di atas ranjang.

Aku berlari keluar sambil terus berteriak. Hingga mengundang perhatian banyak orang, termasuk sepasang tua yang berlari ketakutan.

“Ada apa?” tanya mereka berebutan.

“Itu… Itu,” gagapku.

Pasangan itu pun meninggalkanku sendiri, karena mereka tak mendapatkan jawaban berarti dariku, yang tiba-tiba saja kelu. Lalu berturut-turut orang-orang berpakaian serba putih melewatiku dan memasuki kamar yang kutinggalkan sesaat lalu.

Lima menit berlalu. Aku masih berdiri kaku di luar kamar di depan pintu. Mataku terus mengawasi apa yang terjadi. Bibirku tiada henti berdo’a. Dan tanpa kusadari aku menangis. Tetes-tetes kecil air keluar dari mataku dan membasahi pipi. Hingga aku jatuh berlutut lemas. Saat pasangan tua di dalam kamar mulai menangis histeris dan wajah-wajah sedih dari mereka yang memakai seragam putih yang saling menatap.

Aku menunduk. “Kakek, apakah ini yang ingin kau sampaikan. Bahwa aku harus rela?”

0 komentar: